Raja, Priyayi, dan Kawula; Surakarta tahun 1900-1915

Posted by Unknown On Selasa, 13 November 2012 0 komentar
Raja, Priyayi, dan Kawula; 

Ada dualisme dalam birokrasi di Kasunanan Surakarta. Sebenarnya Belanda membawahi Kasunanan, namun Kasunanan tetap berkuasa atas perkara sipil dan sampai batas tertentu juga hokum. Karena Sunan memanggil Residen Surakarta dengan Bapa (Vader) dan Gubernut Jenderal Eyang (Groot Vader). Sebaliknya, sunan dianggkat oleh Pemerintah Hindia-Belanda sebagau perwira pribumi dengan pangkat jendral.

Adapun riwayat hidup PB X demikian. PB X dilahirkan pada hari Kamis Legi, 21 Rejeb Tahun Alip 1795, atau 29 november 1866. Menjadi putra mahkota pada umur tiga tahun, pada 4 oktober 1869, bergelar KGPA A nom, Amengkunegara Sudbya Rajaputra Narendra Mataram. Ia menjadi raja Surakarta Adiningrat pada hari kamis Wage, 12 Ramadhan tahun Je 1822 atau 30 Maret 1893. Mengangkat diri dari Sunan menjadi Susuhunan pada hari Kamis, 3 Janiari 1901. Ia meninggal pada 20 Fecruari 1939.


Sekalipun ia menjadi raja, berkuasa di Keraton dan di wilayahnya, tetapi ia bukan orang yang merdeka sepenuhnya. Surat-surat dari dan keluar harus lewat residen, meskipun itu hanya urusan keluarga. Van kol mengutip seorang pelancong Jerman pada 1902 yang mengatakan bahwa raja dipandang begitu tinggi oleh rakyatnya, namun ia tidak pernah menjadi orang bebas. Ia terikat semacam bentuk aturan sehingga untuk keluar dari kratonnya saja perlu ijin dari residen. Ia adalah tawanan di keratonnya sendiri. Tidak aneh, kalau kemudian ia mengembangkan lebih banmyak politik simbolis daripada politik substantive. Dengan kata lain, karena tidak bebas mengurus kerajaan, dia kemudian mengurus dirinya sendiri. Mengenai urusan kerajaan, ia hanya punya pikiran sederhana. Koran Darmo Konda melaporkan pertanyaan raja sangat sederhana pada patih. Ia bertanya pada Patih Sasradiningrat: sekarang musim apa? Bagaimana air sungai?

PB X waktu masih muda mempunyai “kumis yang bagus, mulut yang kecil, dan bibir yang berbentuk bagus. Pantas kalu serat Wedhamadya pada ulang tahunnya yang ke 33 mengumpamakan sebagai Kresna, titisan Dewa Wisnu, dewa ngejawantah. Namun, para pejabat Belanda di Surakarta mempunyai kesan negative tentang karakter pribadinya. Resident van Wijk mengatakan bahwa karakternya lemah. PB X mengesankan sebagai anak manja, karena ada kesalahan besar dalam pertumbuhannya, dia diangkat jadi putra mahkota dalam umur tiga tahun. Suka kepada pakaian kebesaran yang bagus, bintang penghargaan, perempuan dan makanan enak sampai badannya gemuk. Gemar minum alcohol dan merokok.

Raja mempunyai wewenang poada rakyat berdasa hubungan kawula-gusti. Raja adalah wewakiling Pangeran Kang Ageng (Wakil Tuhan Yang Maha Besar), tanda supranatural yang jumlahnya tiga, yaitu wahyu nurbuwah atau wahyu untuk menjadei raja yang meliputi seluruh jagat raya, yang kedua yaitu wahyu khukumah, raja semesta dan yang ketiga wahyu wilayah, menjadi wakil tuhan, menjadi teladan bagi semua para kawula. Wahyu tudak lagi utuh pada masa PB C. Raja tidak lagi berkuasa penuh, dia hanya administrator belanda untuk Surakarta. Hak untuk mengadili sudah dikurangi oleh reformasi pengadilan. Tidak lagi patut menjadi teladan, karena kelakuaannya tidak terpuji.

Ada dua hal menurut Residen Schneider yang membuat polisi residen di depan elite pribumi dan rakyat itu sulit, yaitu tradisi dan ideology panata gama. Ideologi panatagama kedua dapat menjelma menjadi nasionalisme dan Pan-Islamisme. Dengan kata lain mythico mythico-religious. Selain itu, PB X juga ahli dalam mengolah symbol-simbol intercultural, timur dan barat.

PB X adalah symbol tradisi Islam dan Jawa. Tradisi islam dipelihara. Setiap bulan Maulud, sunan akan memberikan hadiah pada orang Arab, Benggal, Koja, Banjar dam para haji berdzkir di masjid, tiap-tiap orang mendapat dua gulden. Bulan maulud juga ada sekaten dan tiap-tiap sekaten ada pasar malam di alun-alun, yang diikuti oleh segala bangsa. Tradisi Jawa dihidupkan. Mitos dipelihara, misalnya dengan upacara mengambil air untuk menanak nasi untuk grebeg mulud dari mata air Pengging, oleh para abdi dalem dengan berjalan kaki membawa 12 genthong sejauh 20 km.

Dalam psikonalisis ada dua cara melihat kepribadian seseorang, yaitu dengan melihat masa kecilnya dengan melihat pertumbuhannya. Freudianisme menekankan yang pertama, sedangkan Neo-Freudianisme menekankan yang kedua. Demikianlah, PB X sepatutnya dianalisis berdasarkan pertumbuhan psikosialnya. Dengan melihat masa kecilnya sebagai anak manja seperti dilaporkan oleh van Wijk kita tidak akan menemukan apa-apa, karena pasti saudara-saudaranya juga anak manja semacam itu. Jadi ridak ada yang patut dicurigai dengan masa kanak-kanaknya, meskipun dia sudah menjadi putera mahkita pada umur tiga tahun, juga pasti tidak ada persoalan dengan perkembangan seksualnya, karena bagi seorang raja Jawa seks itu tidak masalah, misalnya seks yang terpaksa ditekan, desembunyikan dan tidak kesampaian.

Priyayi: Abdi Dalem Raja dan Abdi Dalem Kerajaan

Pada tahun 1900-1915 di bawah pemerintahan PB X ada tiga jenis priyayi, yang pertama yaitu priyayi yang bekerja pada raja, priyayi yang bekerja untuk kerajaan (parentah ageng) dan priyayi terpelajar (bangsawan pikiran). Kedua maxam priyayi itulah yang disebut abdi dalem, karenanya pembicaraan mengenai priyayi dibawah ini selalu berarti kedua macam priyayi , kecuali kalau teksnya berkata lain.

Sebuah perkumpulan priyayi kerajaan, Abipraya, yang didirikan di Surakarta menjelang pergantian abad ini memberikan sebuah contoh mengenai bagaimana kehidupan priyayi dijalani awal abad kedua puluh. Para priyayilah yang pada waktu-waktu awal menyadari peran mereka sebagai pembawa kemajuan di dalam masyarakat Jawa. Siapa saja priyayi di Surakarta? Kita tidak memiliki informasi lengkap mengenai priyayi Surakarta, karena dokumen-dikumen yang pernah menerbitkan daftar priyayi setiap tahun yang mungkin memberikan informasi, yaitu Solosche Javaansche Akmanak yang mulai terbit pada tahun 1890-an, tetapi sampai kini belum detemukan diperpustakaan. Kita hanya bisa mengambil sumber-simber kedua, melalui pernyataan dan tulisan-tulisan. Mengutip sumber-sumber waktu itu, priyayi adalah pegawai pemerintah colonial dan abdi dalem Susuhunan. Apapun pekerjaannya, mereka yang mengabdi raja sudah barang adalah priyayi. Pada waktu itu priyayi merupakan kedudukan yang dicita-citakan.Sebelum mendapatkan status priyayinya, para putra abdi dalem yang akan meneruskan pekerjaan orang tuanya harus melewati beberapa tahapan. Tahapan itu dimulai dengan suwita (belajar) pada priyayi tinggi. Lalumagang (masa percobaan) dengan mengerjakan tugas-tugas sesuai profesi yang ingin ditekuni. Setelah itulah baru ia di-wisuda (pengukuhan) sebagai priyayi. Jenjang-jenjang ini menunjukkan kepada kita bahwa hubungan antara priyayi dan raja adalah hubungan patron-client.

Lebih jauh jenjang-jenjang ini juga menunjukkan bahwa dalam dunia kepriyayian pun ada stratifikasi sosial. Stratifikasi sosial ini dijaga dan dilestarikan juga dalam simbol-simbol budaya. Simbol-simbol itu di antaranya adalah jumlah kewajiban sembah, pakaian, bahasa, dan tempat duduk kala beraudiensi dengan raja. Selain itu juga berkembang di kalangan priyayi tentang world view mereka yang secara ilmiah disebut political mysticism. Pandangan mistisme para priyayi ini berkaitan dengan panggilan jiwa mereka saat menjalankan amanah dari raja. Bagi para priyayi ini, kemuliaan karena berhasil menjalankan amanat raja adalah tujuan utama.

Kehidupan para kawula, terutama dari aspek budaya tandingan yang berkembang dalam komunitasnya. Mengapa budaya tandingan? Dalam pembahasan-pembahasannya perihal raja dan priyayi, terang sekali ditemukan banyak sekali korelasi di antara keduanya. Melalui hubungan patron-client yang terbangun antara keduanya, adalah hal mudah bagi kita membuat kesimpulan bahwa raja dan priyayi adalah kaum superior. Sementara dalam anggapan mereka, rakyat atau kawula adalah para penonton saja. Kehidupan rakyat adalah kehidupan tersendiri yang terpisah dari jangkauan korelasi raja-priyayi.
Kawula memiliki jarak sosial-budaya yang jauh dengan raja dan priyayi. Jika dikatakan politik simbol amat memengaruhi hubungan raja dan priyayi, maka hal itu tidak lagi berlaku pada kawula. Menurut Kuntowijoyo, simbol-simbol kekuasaan telah melemah setelah melewati jarak sosial yang jauh. Kawula memiliki dan mengembangkan budayanya sendiri yang oleh Kuntowijoyo disebut sebagai budaya tandingan itu. Kawula punya simbol-simbolnya sendiri. Di sini Kuntowijoyo mengetengahkan fenomena sumur ajaib dan beberapa fenomena supranatural yang hidup dikalangan rakyat kebanyakan.

Dengan jeli Kuntowijoyo menghimpun pemberitaan-pemberitaan perihal fenomena gaib dari media massa sezaman. Yang menarik adalah komentar beliau terhadap pemberitaan ini. Menurut Kuntowijoyo, apa yang diberitakan dalam media massa sezaman itu memang bukanlah fakta empiris yang punya kebenaran. Tetapi sejarawan mempunyai hak untuk mempercayainya bahwa para narasumber berita sungguh-sungguh menyatakan sesuatu yang mereka lihat. Jadi yang mereka nyatakan adalah sebuah peristiwa psikologis, bukan empiris, sehingga peristiwa itu tetap bisa dipandang memiliki makna historis. Peristiwa itu adalah alternatif dari simbol-simbol kekuasaan yang dominan kala itu.

Selain dalam aspek sosial-budaya, “perlawanan” kawula terhadap dominasi raja dan priyayi tampak pula dalam bidang pergerakan, bahkan selanjutnya memegang peranan penting. Jika para priyayi punya wadah Abipraya, maka para kawula punya Boedi Oetomo dan Sarekat Islam. Meski kemudian BO berubah menjadi organisasi yang elitis, tapi BO awalnya tetaplah dipandang sebagi wujud resistensi kawula. Pada gilirannya, kawula-kawula yang punya pemikiran maju muncul kepermukaan sebagi seorang “bangsawan pikiran”. Organisasi-organisasi inilah alat mobilisasi mereka.

Andaikata PB X mengedepankan politik substantive dengan menekankan ekonomi dan kesejagteraan dan tidak mengedepankan politik simbolis yang hanya memperkuat kekuasaan nasib hubungan dengan penguasa colonial, priyayi, dan kawula akan lain. Tidak aka nada ramalan bahwa kerajaan suatu kali akan musnah. Seperti diketahui, kerajaan Surakarta benar-benar runtuh bersama Revolusi Indonesia

Resensi : Kuntowijoyo, 2004. Raja, Priyayi, dan Kawula; Surakarta, 1900-1915. Yogyakarta; Ombak. Dengan Brata, Suparto, 2004. Gadis Tangsi, Jakarta; Penerbit Buku Kompas.

Priyayi dan kawula memandang raja sebagai pemilik sah kerajaan melalui kepercayaan adanya wahyu sehingga raja mempunyai otoritas kuat dan dipercaya penuh oleh rakyat. Raja mempunyai wewenang pada rakyat berdasar hubungan kawula-Gusti Oleh karena itu, penjajah memerlukan otoritas kraton untuk berhubungan dengan rakyat. Kraton menjadi mediator hubungan antara pemerintah kolonial dengan rakyat. Pada hal-hal tertentu Pemerintah Kolonial sama sekali tidak mampu menghalangi hubungan emosional antara kawula dengan raja.

Ada dua hal menurut Residen Schneider yang membuat posisi residen di depan elite pribumi dan rakyat itu sulit, yaitu: tradisi dan ideologi panatagama Hubungan emosional ini menyebabkan pemerintah kolonial merasa perlu menguasai kraton. Buku Kuntowijoyo (2004) memuat data tentang bagaimana pemerintah kolonial menguasai dan mengkonstruksi kraton (Kasunanan Surakarta pada masa Pakubuwana X). Belanda membawahi Kasunanan, meskipun Kasunanan tetap berkuasa atas perkara sipil dan sampai batas tertentu juga hukum . Selain itu, pemerintah kolonial juga turut mencampuri urusan rumah tangga kraton. Lemahnya kekuasaan Sunan juga terlihat pada sikap Sunan yang tak pernah (tak mampu?) menerapkan etiket Jawa yang kaku untuk orang Eropa meski di dalam lingkungan keraton . Sementara simbol-simbol menegaskan kedudukan Sunan sebagai raja, yaitu sebagai pusat dunia di mana makrokosmos dan mikrokosmos bertemu, tetapi secara faktual dan kontekstual dia berada di bawah Pemerintah Hindia-Belanda .

Kekuasaan Pemerintah kolonial tidak hanya sebatas pada masalah administrasi, tetapi juga menyangkut sikap dan tingkah laku raja dan priyayi. Pada abad kedua puluh terdapat kamus Subasita karya Padmasusastra yang berisi mengenai perilaku-perilaku santun yang pantas dilakukan seorang priyayi Jawa. Dalam pengantar buku itu, penulisnya mengatakan bahwa etiket Jawa yang berlaku waktu itu harus disesuaikan dengan budaya dominan panguasa, Belanda! . Simbol orang yang berbudaya adalah orang yang mampu menyesuaikan diri dengan etiket Barat antara lain ditunjukkan oleh Padmasusastra yang progresif. Pada waktu itu orang Jawa (serta Cina) mulai memotong rambut panjang mereka seperti orang Belanda .
Data tersebut di atas menegaskan bahwa kekuasaan raja berikut tingkah laku, etiket dan kepribadian priyayi dan bangsawan kraton adalah semu. Mereka sebenarnya tidak mempunyai jati diri. Kekuasaan, gaya, dan sikap serta tingkah laku bangsawan kraton adalah kekuasaan, gaya, dan sikap serta tingkah laku Belanda. Apa yang dititahkan raja adalah apa yang dikatakan Belanda. Dengan demikian apa yang dipuja-puja kawula, apa yang diimpikan kawula adalah kekuasaan dan etiket hidup Belanda. Kawula yang merasa bodoh, rendah, dan kasar adalah hasil konstruksi dan wacana Belanda melalui kraton.

Panjabaran mengenai hubungan kawula ~ kraton dan kraton ~ Pemerintah Kolonial tersebut digunakan untuk melihat mentalitas kawula dalam novel Gadis Tangsi karya Suparto Brata. Bagaimana ia melihat dirinya sendiri dalam hubungannya dengan para priyayi pribumi dan dengan Pemerintah Kolonial Belanda. Pengarang seolah-olah menegaskan pandangan raja dan priyayi bahwa kawula adalah rendah, kasar, dan tidak terpelajar. Sebagai kawula, Teyi identik dengan umpatan kata-kata kasar, baik tatkala marah, kaget, maupun heran, misalnya: Trukbyangan (sebutan kasar alat kelamin wanita); Trukbyangane silit (sebutan kasar alat kelamin wanita dan dubur disebut sekaligus); Bajingan; Entutmu berut (kentut yang sangat bau); Ediiiaan, Trondolo kecut (nama hewan).

Dalam pengertian luas, umpatan dan makian Teyi tersebut menunjukkan bagaimana kehidupan di masyarakat bawah (kawula). Baik teman-teman sebaya maupun orang-orang tua sering mengucapkan kata-kata itu termasuk ibunya. Demikian halnya dengan teman-teman seusia Teyi. Meski demikian, sebenarnya Ibu Teyi, Raminem, melarang Teyi mengumpat. Cerita dalam novel ini terjadi pada ruang tempat tertentu. Ruang tempat terjadinya cerita ini adalah Surakarta dan Medan. Dalam lingkup yang lebih sempit, ruang tempat kejadiannya antara lain adalah tangsi militer Lorong Belawan, Kampung Landa, rumah loji, Kota Medan, toko, dan jalan-jalan.

Jarak antara Surakarta dan Medan secara geografis jauh bahkan berbeda pulau, yaitu Jawa dan Sumatera. Secara sosiologis kedua tempat itu mempunyai jarak budaya yang jauh pula yaitu Jawa dan Melayu. Namun, novel ini bercerita tentang penerapan kebudayaan Jawa (baca: kraton) di Medan meski hanya berlaku bagi orang Jawa yang berada di Medan. Hal itu menunjukkan bahwa kekuasaan kraton bagi orang Jawa tidak memandang tempat. Budaya kraton berlaku bagi semua orang Jawa di manapun mereka berada. Ninek Jidan, pembantu Putri Parasi yang ikut ke Medan, merasa bahagia ketika bertemu dengan Teyi. Bahasa Jawa yang dipergunakan Teyi membuat Ninek Jidan merasa bertemu dengan ‘orang’. Nenek itu tidak jadi marah.


Pendekatan dalam buku karangan Kuntowijoyo, 2004. Yang berjudul Raja, Priyayi, dan Kawula; Surakarta, 1900-1915 yaitu menggunakan pendekatan psikologis , pendekatan antropologi, pendekatan sosiologi dan pendekatan sejarah mentalitas. Sejarah mentalitas adalah hasil penggabungan sosiologi,psikologi, dan sejarah. Atau, psikologi social dan sejarah. Sejarah mentalitas adalah sejarah kejiwaan suatu kelompok social. Menurut Michel Vovelle sejarah mentalitas menulis tentang keadaan, perilaku dan bawah sadar kolektif. Buktinya yaitu Dari pengamatan-pengamatan yang dilakukan Kuntowijoyo dengan pendekatan psikologisnya, diperoleh pula kesimpulan bahwa PB X memiliki Emotional Intelligent (EI) yang tinggi. PB X tahu benar akan potensi yang dimilikinya. Dengan diperkuat tradisi kraton yang ketat, PB X lihai memainkan perannya sebagai seorang raja dan beliau sukses. Dalam folklore Jawa dikatakan bahwa Susuhunan PB X adalah raja Jawa terbesar yang telah menghabiskan kemuliaan, kemuktian, dan kewibawaan untuk dirinya sendiri, sehingga bahkan tak tersisa sedikitpun untuk raja-raja sesudahnya. Secara umum PB X dengan sukses telah memainkan simbol personal (kewenangan, titel, pakaian, penghormatan, anugerah, dan hedonisme) dan simbol publik (tradisi, nasionalitas, religiusitas, dan interkultural), serta kepribadiannya yang menonjol untuk mempertahankan eksistensinya sebagai raja

Maksud penggunaan pendekatan mentalitas ini supaya bisa memberikan gambaran umum kepada generasi sejarawan sesudahnya tentang relevansi sejarah mentalitas sebagai suatu genre penulisan sejarah. Terutama dalam kemampuannya untuk memahami keadaan psiko-sosial masyarakat dan budaya. Hal inilah yang membuat tulisan sejarah menjadi tulisan yang hidup, tidak kering dan kaku.

0 komentar:

Posting Komentar

Kalau udah dibaca mohon sisipkan komentar ea :D
untuk kemajuan blog saya
terimakasih :D